PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH
PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH
PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah
dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk
suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin
Arsyad, 1999).
Masalah pokok dalam pembangunan daerah berada pada penekanan terhadap
kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah
yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi
sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal
(daerah). Sehingga kita peru melakukan pengambilan inisiatif-inisiatif
yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk
menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, yaitu proses yang
mencakup pembentukan-pembentukan institusi baru, pembangunan
industri-industri alternatif, perbaikam kapasitas tenaga kerja yang ada
untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi
pasar-pasar baru, dan pengembangan perusahaan-perusahan baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk
meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah.
Untuk mencapai tujuan tesebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus
secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena
itu, pemerintah daerah beserta daerah beserta partisipasi masyarakatnya
dan dengan dengan menggunakan sumberdaya yang ada harus memperkirakan
potensi sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun
perekonomian daerah. (Lincolin Arsyad, 1999).
Pembangunan ekonomi sejak Pelita I hingga krisis 1997 memang telah
memberi hasil yang positif terhadap perekonomian Indonesia, apalagi jika
dilihat dari kinerja ekonomi makronya. Tingkat PN riil per kapita
mencapai peningkatan yang pesat dari US$50 (1960) dan lebih dari US$1000
(1990-an). Oleh karena itulah, Indonesia sempat disebut-sebut sebagai
calon negara industri baru di Asia Tenggara.
Namun, ternyata ditinjau dari tingkat kualitasnya, pembangunan
ekonomi pada masa orde baru telah menimbulkan kesenjangan yang besar
sehingga ada ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar kelompok
pendapatan, maupun kesenjangan ekonomi/pendapatan daerah. Hal ini
membuat masyarakat yang merasakan bahwa pembangunan ekonomi ini tidak
merata, ingin melepaskan diri dari Indonesia.
Ada beberapa indikator untuk menganalisis derajat kesenjangan dalam
pembangunan ekonomi antarprovinsi, yaitu produk domestik regional bruto
(PDRB) per provinsi dalam pembentukan PDB nasional, PDRB atau
pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita, indeks
pembangunan manusia (IPM), kontribusi sektoral terhadap pembentukan
PDRB, dan tingkat kemiskinan.
PEMBAHASAN
1. Distribusi PDB Nasional Menurut Provinsi
Distribusi PDB Nasional menurut provinsi merupakan indikator utama di
antara indikator lain yang umum untuk mengukur derajat penyebaran dari
hasil pembangunan ekonomi di suatu negara. Jika PDRB relatif sama antar
povinsi, maka PDB nasional relatif merata ntar provinsi, sehingga
ketimpangan pembangunan antar provinsi relatif kecil.
Salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa jika output agregat
dihitung tanpa minyak dan gas (migas), kontribusi PDB dari
wilayah-wilayah yang kaya migas, seperti di Aceh, Riau, Kalimantan Timur
menjadi lebih kecil
lagi.Aceh
menyumbang 3% terhadap PDB Indonesia; tanpa gas hanya menyumbang 50%.
Hal ini berarti 50% dari perekonomian Aceh tergantung pada perekonomian
sektor gas.
Begitu pula dengan Riau dan Kalimantan Timur yang menyumbang 5% pada
PDB Indonesia, sedangkan tanpa minyak perannya hanya 2%. Namun, pada
tahun 2000, kontirbusi output regional yang dihasilkan oleh Aceh dan
Kaltim dengan dukungan sektor migas menurun menjadi 2,5% dan 1,6%,
sedangkan Riau mengalami peningkatan menjadi 5,4%. Hal ini memberikan
kesan bahwa bukan suatu jaminan bagi kinerja ekonomi suatu daerah yang
kaya akan migas.
2. PDRB Rata-rata per Kapita antar Provinsi
Karena tujuan dari pembangunan ekonomi adalah miningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan ini umum diukur dengan pendapatan rata-rata
per kapita, maka distribusi PDB Nasional menurut provinsi menjadi
indikator yang tidak berarti dalam mengukur ketimpangan pembangunan
ekonomi regional jika tidak dikombinasikan dengan tingkat PDRB rata-rata
per kapita.
Jika PDRB per kapita di atas 2 juta rupiah dianggap tinggi dan
sebaliknya di bawah 2 juta dianggap rendah, dan pertumbuhan PDB per
kapita tinggi jika di atas 3%, dan rendah jika lebih kecil dari 3%.
Hasil perhitungan Tadjoeddin dkk. (2001) menunjukkan bahwa PDRB dari 7
daerah pusat migas di Indonesia, yakni Aceh Utara, kepulauan Riau dan
Bengkalis, Kutai, Bulungan dan Balikpapan, dan Fakfak (Papua) menguasai
72% dari PDB migas nasional. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa
semua daerah ini dengan jumlah penduduk yang hanya 9% dari total
populasi Indonesia menyumbang 33% dari PDB Nasional.
3. Konsumsi rumah Tangga per Kapita antar Provinsi
Pengeluran Konsumsi C Rumah Tangga (RT) per kapita per provinsi
merupakan salah satu indikator alternatif yang dapat dijadikan ukuran
untuk melihat perbedaan dalam tingkat kesejahteraan penduduk atntar
provinsi. Konsepnya adalah semakin tinggi pendapatan per kapita suatu
daerah, maka akan semakin tinggi juga pengeluaran konsumsi per kaita di
daerah tersebut. Dalam hal ini juga terdapat 2 asumsi, yaitu sifat
menabung dari masyarakat tidak berubah (S terhadap PDRB tidak berubah)
dan pangsa kredit di dalam RT juga konstan. Tinggi rendahnya pengeluara C
RT tidak dapat selalu mencerminkan tinggi rendahnya pendapatan per
kapita di suatu daerah, tanpa kedua asumsi tersebut.
Dengan memakai data BPS mengenai pengeluaran riil C RT per kapita,
ditemukan adanya polarisasi dalam distribusi C RT per kapita
antarprovinsi. Sebagian wilayah di Indonesia memiliki tingkat C RT per
kapita yang rendah, lewat hal ini dapat dikatakan menjadi refleksi dari
kenyataan bahwa sebagian daerah di Indonesia masih belum menikmati
pembangunan ekonomi.
Perbedaan dalam derajat pemerataan provinsi dapat diukur dengan
distribusi pendapatan C menurut kelompok populasi per provinsi. Tingkat
ketimpangan dikatakan tinggi jika 40% penduduk berpendapatan rendah
(berpengeluaran rendah), hanya menikmati pendapatan kurang dari 12% dai
seluruh pendapatan. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah dapat
menikmati kurang dari 12% sampai dengan 17% dari seluru pendapatan, maka
hal ini berarti telah terjadi ketimpangan sedang. Dan bila 40% penduduk
berpendapatan rendah menikmati lebuh dari 17% dari seluruh pendapatan
penduduk, tingkat ketimpangan rendah.
Tampak juga bahwa daerah-daerah di pulau Jawa memiliki tingkat
kesejahteraan yang lebih baik jika dibandingkan dengan provinsi lainnya
di luar pulau Jawa. Namun demikian, beberapa provinsi di pulau Jawa juga
memiliki pengeluaran C makanan yang relatif rendah dibandingkan dengan
provinsi lainnya, seperti Bali, Kalimantan Timur, sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga terdiri dari semua pengeluaran atas
pembelian barang dan jasa dikurangi dengan hasil penjualan neto dari
barang bekas atau apkiran. Pengeluaran konsumsi rumah tangga juga
meliputi nilai barang dan jasa yang dihasilkan untuk konsumsi sendiri,
seperti hasil kebun, peternakan, kayu bakar dan biaya hidup lainnya
serta barang-barang dan jasa.
Di samping itu, pengeluaran untuk pemeliharaan kesehatan, pendidikan,
rekreasi, pengangkutan dan jasa-jasa lainnya termasuk dalam konsumsi
rumah tangga. Pembelian rumah tidak termasuk pengeluaran konsumsi,
tetapi pengeluaran atas rumah yang ditempati seperti sewa rumah,
rekening air, listrik, telepon dan lain-lain merupakan konsumsi rumah
tangga.
Penghitungan pengeluaran konsumsi rumah tangga dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu:
1). Pengeluaran konsumsi rumah tangga di pasar suatu daerah adalah
pembelian langsung di pasar tersebut baik oleh penduduk maupun rumah
tangga bukan penduduk daerah tersebut.
2). Pengeluaran konsumsi rumah tangga meliputi pembelian langsung di
pasar tersebut, ditambah dengan pembelian langsung penduduk daerah ini
yang dilakukan di luar negeri atau daerah lain, dikurangi dengan
pembelian langsung di pasar domestik oleh rumah tangga di luar penduduk
daerah tersebut.
Konsumsi Rumah Tangga Kelompok Makanan
Perkiraan konsumsi kelompok makanan menggunakan model fungsi
eksponensial. Model ini dipilih berdasarkan pada asumsi bahwa tiap
penambahan pendapatan akan menyebabkan pertambahan tingkat konsumsi,
tetapi pada suatu ketika, saat keinginan konsmsi mencapai titik
jenuhnya, maka konsumsi tersebut mulai menurun, dengan membentuk kurva
seperti parabola.
Nilai konsumsi atas dasar harga berlaku diperoleh dengan mengalikan
konsumsi dalam satuan kuantum dengan harga eceran pada tahun yang
bersangkutan. Harga konsumen atau harga eceran merupakan harga yang
dibayar oleh rumah tangga konsumen yang tujuannya untuk dikonsumsi.
Harga tersebut merupakan rata-rata harga eceran di kota dan harga di
pedesaan.
Konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan didapatkan dengan metoda
revaluasi artinya konsumsi dalam satuan kuantum dikalikan dengan harga
tahun dasar.
Konsumsi Rumah Tangga Kelompok Bukan Makanan
Perkiraan konsumsi rumah tangga untuk kelompok bukan makanan menggunakan
model regresi linier. Maksudnya setiap kenaikan pendapatan akan
cenderung selalu diikuti oleh penambahan permintaan konsumsi kelompok
bukan makanan misalnya permintaan akan pakaian, hiburan, dan lain
sebagainya.
Konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan pada tiap tahun
dimana data Susenas tersedia, diperoleh dengan cara mendeflasi nilai
konsumsi (nilai data Susenas) dengan IHK yang sesuai dengan jenis
pengeluaran barang dan jasa yang dikonsumsi. Pada tahun-tahun dimana
data Susenas tidak tersedia maka nilai konsumsi rumah tangga atas dasar
harga berlaku diperoleh dengan metode model regresi linier yang
menghasilkan koefisien elastisitas permintaan yang dikalikan dengan
pendapatan, kemudian mengalikan total nilainya dengan IHK.
4. Indeks Pembangunan Manusia
Ukuran pembangunan yang digunakan selama ini, yaitu PDB (untuk
konteks nasional) dan PDRB (untuk konteks regional), ternyata hanya
dapat melihat pembangunan ekonomi saja. Oleh karena itu, dibutuhkan
suatu indikator yang lebih komprehensif, sehingga tidak hanya menangkap
perkembangan perekonomian tetapi juga perkembangan aspek sosial dan
kesejahteraan manusia.
Pembangunan manusia memiliki banyak dimensi. Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) merupakan ukuran agregat dari dimensi dasar pembangunan
manusia denganmelihat perkembangannya. Penghitungan IPM sebagai
indikator pembangunan manusia memiliki tujuan penting, yaitu:
- Membangun indikator guna mengukur dimensi dasar pembangunan manusia dan perluasan kebebasan memilih.
- Memanfaatkan sejumlah indikator untuk menjaga ukuran tersebut sederhana.
- Membentuk satu indeks komposit dibanding menggunakan sejumlah indeks dasar.
- Menciptakan suatu ukuran yang mencakup aspek sosial dan
ekonomi. Indeks tersebut merupakan indeks dasar yang tersusun dari
dimensi umur panjang dan kehidupan yang sehat, dengan indikator
angka harapan hidup, pengetahuan, yang diukur dengan angka melek
huruf dan kombinasi dari angka partisipasi sekolah, dan standar
hidup yang layak, dengan indikator PDRB per kapita (Purchasing
Power Parity).
Di Indonesia penghitungan IPM pertama kali dilakukan atas kerjasama
BPS dan UNDP Indonesia pada tahun 1996. IPM yang dihasilkan menunjukkan
hasil bandingan antar Provinsi di Indonesia periode tahun 1990 dan 1993.
Oleh karena Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) sebagai sumber
data penghitungan IPM baru dilaksanakan tahu 1990, maka indeks sebelum
tahun tersebut tidak dapat dilakukan.
Penghitungan IPM di Indonesia juga sempat mengalami perubahan,
terutama dalam penghitungan standar kehidupan di tingkat provinsi. UNDP
menggunakan PDB riil per kapita yang disesuaikan sebagai proxy dari
pendapatan untuk menghitung IPM global. Nilai maksimum yang digunakan
adalah target yang ingin dicapai pada akhir pembangunan jangka panjang
kedua, yaitu pada tahun 2018. Sementara itu, nilai ambang batas tingkat
pendapatan ditetapkan dari suatu tingkat pendapatan tertentu yang telah
disesuaikan untu kondisi Indonesia. Penghitungan IPM Kota Samarinda
dilakukan dengan tetap menggunakan prinsip-prinsip dasar penghitungan
IPM dalam HDR global.
- Tingkat Kemiskinan
Pemerintah memperkirakan angka kemiskinan nasional pada 2009 berkisar
12-13,5 % atau lebih rendah dari 2008 yang mencapai 15,4 %. Pada 2008,
pada Rapat Kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, BPS
mengeluarkan laporan tingkat kemiskinan di tanah air mancapai 15,4 %.
Dengan berbagai program 2009 dan dana pendamping diperkirakan akan
berkurang menjadi 12 hingga 13,5 % angka kemiskinan.
Namun demikian Paskah, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) mengatakan, dalam perhitungan pesimistis Bappenas
memperkirakan angka kemiskinan nasional pada tahun ini sekitar 12-14 %.
Untuk menanggulangi kemiskinan melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
2009 sejumlah upaya yang akan dilakukan yakni bantuan dan perlindungan
sosial, pemberdayaan masyarakat dan penguatan Usaha Mikro dan Kecil
(UKM).
Program Bantuan dan Perlindungan Sosial di bidang pendidikan melalui
penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk semua jenjang
pendidikan dasar baik negeri maupun swasta. Program BOS ini dimaksudkan
untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan
meringankan bagi siswa lain agar mereka memperoleh layanan pendidikan
dasar yang lebih bermutu sampai tamat belajar.
Sasaran program BOS pada 2009 yakni 27,1 juta siswa SD dan 9,5 juta
siswa SMP yang mana untuk sekolah umum disediakan anggaran untuk 3,7
juta anak, sedangkan untuk madrasah sebanyak 1,5 juta siswa.
Selain itu, pemerintah juga akan memberikan perhatian pada sisi
kesehatan penduduk miskin, diharapkan 75,4 juta penduduk miskin dapat
memperoleh pelayanan kesehatan kelas III , seluruh penduduk mendapatkan
pelayanan dasar di Puskesmas atau jaringannya. Termasuk juga masalah
ketersedianya obat generik esensial, obat flu burung, obat bagi korban
bencana, maupun obat untuk jemaah haji serta obat program dan vaksin.
Dari sisi pemberdayaan masyarakat, pada tahun 2009 pemerintah
mengalokasikan lebih dari 10 triliun rupiah untuk mendukung program PNPM
Mandiri yang diantaranya; penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana
lingkungan pemukiman, sosial dan ekonomi secara padat karya. Sedangkan
untuk penguatan UKM akan dilakukan penyediaan dana bergilir bagi
kegiatan produktif skala usaha mikro, penyediaan skim jaminan kredit
UKM, fasilitas pengembangan pemasaran usaha mikro melalui koperasi dan
pembinaan sentra produksi UKM di daerah yang masih tertinggal.
6. Kontribusi Sektoral terhadap PDRB
Bicara tentang kontribusi sektoral PDRB, kita perlu suatu daerah
untuk dijadikan contoh. Sebut saja provinsi Bengkulu Utara. Data PDRB
yang merupakan salah satu indikator ekonomi daerah menunjukkan ternyata
selama jangka waktu analisis sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2007,
kontribusi masing-masing sektor ekonomi terhadap PDRB Kabupaten Bengkulu
Utara tidak mengalami banyak perubahan.
Sesuai dengan potensi sumber daya alam yang dimilikinya, hingga saat
ini struktur ekonomi regional Kabupaten Bengkulu Utara yang didominasi
oleh sektor pertanian. Dalam kurun waktu 5 tahun pengamatan, sektor
pertanian telah menjadi sektor penyumbang PDRB terbesar di Kabupaten
Bengkulu Utara dengan kontribusi sekitar 36%-37% dari total PDRB.
Sedangkan, sektor dengan kontribusi paling kecil Bengkulu Utara adalah
sektor listrik, gas dan air bersih, yaitu hanya sebesar 0, 24%-0, 25%.
Dapat kita lihat dari kontribusi rata-rata per sektor, sumbangan
sektor pertanian adalah sebesar 36% dari total PDRB. Kemudian di posisi
kedua adalah sektor jasa-jasa dengan kontribusi sebesar 17%, dan pada
posisi ketiga adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 14%.
7. Faktor Penyebab Ketimpangan
A.
Konsentrasi Kegiatan ekonomi
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan
antar daerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi
cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang
rendah cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi
yang lebih rendah.
Sebenarnya ada 2 masalah utama dalam pembanguna ekonomi nasional
selama ini. Yang pertama adalah semua kegiatan ekonomi hanya terpusat
pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. Yang kedua adalah yang
sering disebut dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau
prosesnya lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti
besarnya sebagian input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar,
bukannya disuplai dari daerah tersebut. Oleh karena itu, keteraitan
produksi ke belakang yang sangat lemah, sektor-sektor primer di daerah
luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa mengolahnya dahulu untuk
mendapatkan NT. Hasil X pada umumnya hanya banyak dinikmati di Jawa.
Jika keadaan ini terus dibiarkan maka, daerah di luar pulau Jawa akan rugi dan semakin miskin saja, karena:
1. daerah akan kekurangan L yang terampil, K serta SDA yang dapat diolah untuk keperluan sendiri.
2. Daerah akan semakin sulit dalam mengembangkan sektor non
primer khususnya industri manufaktur, dan akan semakin sulit mengubah
struktur ekonominya yang berbasis pertanian atau pertambangan ke
industri.
3. Tingkat pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah
sehingga pasar output semakin lama, dan menyebabkan perkembangan
investasi di daerah semakin kecil.
Ketimpangan dalam distribusi kegiatan ekonomi antarwilayah Indonesia
terlihat jelas dalam tidak meratanya pembagian kegiatan industri
manifaktur antar provinsi. Daerah Jawa didominasi oleh sektor-sektor
yang memiliki NT tinggi, khususnya industri manufaktur, sedangkan di
luar Jawa didominasi oleh sektor yang memiliki NT rendah, seperti
pertanian. Karena kepincangan struktur inilah terjadi ketimpangan
pembangunan ekonomi di Indonesia. Dan industri di luar Jawa yang rendah
disebabkan karena pasar lokal yang kecil, infrastruktur yang terbatas,
serta kurang SDM.
B.
Alokasi Investasi
Indikator lain juga yang menunjukkan pola serupa adalah distribusi
investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA)
maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi
Harrod-Domar, bahwa krangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan
ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut
menjadi rendah, karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif,
seperti industri manufaktur.
Terpusatnya I di wilayah Jawa, disebabkan oleh banyak faktor seperti
kebijakan dan birokrasi yang terpusat selama ini (terutama sebelum
pelaksanaan otonomi daerah daerah), konsentrasi penduduk di Jawa dan
keterbatasan infrastruktur serta SDM di wilayah luar Jawa. Persebaran
sumber daya alam tidak selamanya melimpah. Ada beberapa sumber daya alam
yang terbatas dalam jumlahnya dan dalam proses pembentukannya
membutuhkan jangka waktu yang relatif lama. Sumber daya alam merupakan
segala sesuatu yang tersedia di alam dan dimanfaatkan untuk kebutuhan
manusia. Sumber daya alam secara umum dibagi menjadi 2, yaitu: sumber
daya alam yang dapat diperbarui dan sumber daya alam yang tidak dapat
diperbarui.
C.
Mobilitas antar Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah
Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah pertanda semakin majunya
suatu negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan ilegal. Ketika
sebuah negara semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya naik ke
posisi ekonomi lebih tinggi (teori Marxist: naik kelas).
Fenomena “move up the ladder” ini dengan sendirinya membawa kepada
konsekuensi kosongnya lapisan terbawah. Walaupun demikian lapisan ini
tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya lapisan ini sangat
substansial, karena menopang “ladders” atau lapisan-lapisan yang berada
di atasnya. Lapisan inilah yang diisi oleh para migran kelas bawah.
Salah satu pilar ekonomi liberal adalah kebebasan mobilitas faktor
produksi, termasuk faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi administratif
negara tidak menjadi penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap saja
perpindahan ini perlu ditinjau dan dikontrol agar tetap teratur.
D.
Perbedaan SDA antar Provinsi
Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa pembanguan ekonomi di daerah
yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur
dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA. Sebenarnya samapai dengan
tingkat tertebntu pendapat ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA
dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan. Namun, belum tentu juga
daerah yang kaya akan SDA akan mempunyai tingkat pembanguan ekonomi yang
lebih tinggi juga jika tidak didukung oleh teknologi yang ada (T).
Penguasaan T dan peningkatan taraf SDM semakin penting, maka
sebenarnya 2 faktor ini lebih penting daripada SDA. Memang SDA akan
mendukung pembangunan dan perkembangan, tetapi akan percuma jika
memiliki SDA tapoi minim dengan T dan SDM.
Program desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar
dan harus berhasil dengan baik. Keragaman kemampuan dalam pelaksanaannya
harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap
menurut kemampuan daerah.
Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program
desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai sebaliknya malah
akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan
pembangunan ekonomi daerah sendiri. Oleh karena itu, proses
desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah
pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan
kebijakan, pada tingkat daerah, khususnya daerah Tingkat II. Hal ini
merupakan kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan
dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi
daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang
kompetitif dan efisien.
Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan secara seimbang
perencanaan yang lebih teliti mengenai penggunaan sumber daya publik dan
sektor swasta: petani, pengusaha kecil, koperasi, pengusaha besar,
organisasi sosial harus mempunyai peran dalam proses perencanaan.
E.
Perbedaan Kondisi Demografis antar Provinsi
Kondisi demografis antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada
yang disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh sektor
pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini
biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda.
Contoh kasusnya, kita tengok ke daerah Tegal.
Penduduk Kota Tegal pada tahun 2007 adalah 247,076 jiwa yang terdiri
dari laki-laki 123.792 jiwa (50,10 %) dan perempuan 123,284 jiwa (49,90
%) dengan laju pertumbuhan 0,55 % per tahun, sedangkan jumlah penduduk
usia produktif (15-64 tahun ) 170.124 jiwa (68,86 %).
Ternyata kepadatan penduduk rata – rata di Kota Tegal pada tahun 2007
sebesar 6.193 jiwa/Km² dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kelurahan
Kejambon sebesar 13.723 jiwa/Km² dan kepadatan terendah di Kelurahan
Muarareja sebesar 750 jiwa/Km².
Jumlah penduduk usia kerja di Kota Tegal tahun 2007 tercatat
berjumlah 204.517 dengan jumlah angkatan kerja sebesar 168.575 jiwa atau
82,43 % yang terdiri dari 87.537 jiwa laki-laki dan 81.038 jiwa
perempuan. Dari jumlah tersebut 112.660 sudah bekerja dan 55.915 tidak
bekerja.
Mata pencaharian penduduk Kota Tegal menurut jenis mata
pencahariannya adalah petani sendiri 3.739 orang, buruh tani 6.457
orang, nelayan 12.013 orang, pengusaha 2.303 orang, buruh industri
20.310 orang, buruh bangunan 18.704 orang, pedagang 21.887 orang,
pengangkutan 6.687 orang, PNS/ABRI 9.223 orang, pensiunan 4.473 orang
dan lain-lain 11.930 orang.
Sektor pendidikan merupakan salah satu prioritas utama kebijakan
Pemerintah Kota Tegal, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kapasitas dan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan sektor ini
diarahkan kepada penyediaan sarana dan prasarana serta memberikan
kemudahan akses pendidikan kepada masyarakat.
Kebijakan-kebijakan strategis yang telah dilakukan oleh Pemerintah
Kota Tegal secara bertahap sejak tahun 2000 sampai dengan saat ini untuk
mendukung pembangunan sektor pendidikan formal antara lain yaitu
pembangunan sarana dan prasarana fisik, pemberian bea siswa, pembebasan
biaya pendidikan untuk tingkat sekolah dasar dan lanjutan tingkat I,
penyediaan buku pelajaran serta peningkatan kualitas tenaga pengajar
melalui pelatihan dan penyetaraan kualifikasi pendidikan guru. Pada
tahun 2007 tamatan pendidikan untuk SD sebanyak 4.214 jiwa, SLTP 3.780
jiwa, dan SLTA 3.435 jiwa.
F.
Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi
Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan
ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya ketidaklancaran
tersebut disebabkan karena keterbatasan transportasi dan
komunikasi. Perdagangan antarprovinsi meliputi barang jadi, barang
modal, input perantara, dan bahan baku untuk keperluan
produksi dan jasa. Ketidaklancaran perdagangan ini mempengaruhi
pembangunan dan pertumbuhan lewat sisi permintaan (Demand) dan sisi
penawaran (Supply). Dari sisi permintaan, kelangkaan akan
barang dan jasa akan berdampak juga pada permnitaan pasar terhadap
kegiatan eonomi lokal yang sifatnya komplementer dengan barang
tersebut. Sedangkan dari sisi penawaran, sulitnya memperoleh barang
modal seperti mesin, dapat menyebabkan kegiatan ekonomi di
suatu provinsi menjadi lumpuh, selanjutnya dapat menyebabkan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang rendah.
8. Teori Pembangunan Ekonomi Daerah
A.
Teori Basis Ekonomi
Teori ini berdasarkan pada ekspor barang (komoditas). Sasaran
pengembangan teori ini adalah peningkatan laju pertumbuhan, penciptaan
lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan. Proses pengembangan kawasan
adalah merespon permintaan luar negeri atau dalam negeri atau di luar
nodalitas serta multiplier effect ( Geltner, 2005).
Teori ini hanya mampu memprediksi jangka pendek dan tidak mampu
merespon perubahan jangka panjang. Hanya menekankan perlunya
mengembangkan sektor industri non basis, tidak mengenal bahwa ekonomi
regional adalah mengintegrasikan seluruh aktivitas ekonomi yang saling
mendukung. Penerapan pengembangan industri ini berorientasi ekspor dan
subtitusi impor, promosi dan pengerahan industri, peningkatan efisiensi
ekonomi ekspor melalui perbaikan infrastruktur Oleh karena itu,
dibutuhkan integrasi antara jenis industri, prasarana, dan perluasan
industri. Dapat disusun hipotesa selain lokasi juga peranan sektoral
serta LQ ( Location Qoutient) sektor konstruksi perumahan realestat
dalam satu kawasan.
B.
Teori Lokasi
Teori lokasi adalah suatu teori yang dikembangkan untuk
memperhitungkan pola lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi termasuk di
dalamnya kegiatan industri dengan cara yang konsisten. Lokasi dalam
ruang dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Lokasi absolut.
Lokasi absolut adalah lokasi yang berkenaan dengan posisi menurut
koordinat garis lintang dan garis bujur (letak astronomis). Lokasi
absolut suatu tempat dapat diamati pada peta (kelihatan).
2. Lokasi relatif.
Lokasi relatif adalah lokasi suatu tempat yang bersangkutan terhadap kondisi wilayah-wilayah lain yang ada di sekitarnya.
Dari sekian banyak teori lokasi, pada prinsipnya sama, yaitu
membicarakan bagaimana menentukan lokasi industri. Teori lokasi yang
dikemukakan oleh Alfred Weber berawal dari tulisannya yang berjudul Uber
den Standort der Industrien pada tahun 1909. Prinsip teori Weber
adalah: “Penentuan lokasi industri ditempatkan di tempat-tempat yang
resiko biaya atau ongkosnya paling murah atau minimal (least cost
location) “. Asumsi Weber yang bersifat prakondisi adalah sebagai
berikut:
1. Wilayah yang seragam dalam hal topografi, iklim dan penduduknya.
Keadaan penduduk yang dimaksud adalah menyangkut jumlah dan kualitasnya.
2. Ketersediaan sunber daya bahan mentah. Invetarisasi sumber daya bahan mentah sangat diperlukan dalam industri.
3. Persaingan antar kegiatan industri.
4. Upah tenaga kerja. Upah atau gaji bersifat mutlak harus ada dalam industri yakni untuk membayar para tenaga kerja.
5. Biaya pengangkutan (ongkos angkut) bahan baku ke lokasi pabrik yang ditentukan oleh bobot bahan baku dan lokasi bahan baku.
6. Manusia berpikir rasional.
Weber menyusun model yang dikenal dengan sebutan segitiga lokasional
(locational triangle). Menurut Weber, untuk menentukan lokasi industri
terdapat tiga faktor penentu, yaitu:
- Material
- Konsumsi.
- Tenaga Kerja.
Biaya transportasi menurut Weber tergantung dari dua hal pokok yaitu
bobot barang dan jarak yang harus ditempuh untuk mengangkutnya.
Selain teori dari Weber, dalam pembahasan ini juga akan dibahas teori
tempat pusat (Central Place Theory) dari Walter Christaller (1933).
Christaller pertama kali mempublikasikan studinya yang berkaitan dengan
masalah tentang bagaimana menentukan jumlah, ukuran dan pola penyebaran
kota-kota. Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Christaller adalah
sebagai berikut:
- Suatu lokasi yang memiliki permukaan datar yang seragam.
- Lokasi tersebut memiliki jumlah penduduk yang merata.
- Lokasi tersebut mempunyai kesempatan transpor dan komunikasi yang merata.
- Jumlah penduduk yang ada membutuhkan barang dan jasa.
Prinsip yang dikemukakan oleh Christaller adalah:
- Range adalah jarak jangkauan antara penduduk dan tempat aktivitas
pasar yang menjual kebutuhan komoditi atau barang. Jika jarak ke pasar
lebih jauh dari kemampuan jangkauan penduduk yang bersangkutan, maka
penduduk cenderung akan mencari barang dan jasa ke pasar lain yang lebih
dekat.
- Threshold adalah jumlah minimum penduduk atau konsumen yang
dibutuhkan untuk menunjang kesinambungan pemasokan barang atau jasa yang
bersangkutan, yang diperlukan dalam penyebaran penduduk atau konsumen
dalam ruang (spatial population distribution).
Dari komponen range dan threshold maka lahir prinsip optimalisasi
pasar (market optimizing principle). Prinsip ini antara lain
menyebutkan bahwa dengan memenuhi asumsi di atas, dalam suatu wilayah
akan terbentuk wilayah pusat (central place). Pusat tersebut menyajikan
kebutuhan barang dan jasa bagi penduduk sekitarnya.
Jika sebuah pusat dalam range dan threshold yang membentuk lingkaran,
bertemu dengan pusat yang lain yang juga memiliki range dan threshold
tertentu, maka akan terjadi daerah yang bertampalan. Penduduk yang
bertempat tinggal di daerah yang bertampalan akan memiliki kesempatan
yang relatif sama untuk pergi kedua pusat pasar itu.
C.
Teori Daya Tarik Industri
Teori daya tarik industri adalah model pembangunan ekonomi yang
paling banyak digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang mendasarinya
adalah bahwa suatu masyarakat dapat memperbaiki posisi pasarnya
terhadap industri melalui pemberian subsidi dan insentif.
Faktor-faktor daya tarik industri adalah:
1. NT tinggi per pekerja.
Ini berarti industri tersebut memiliki sumbangan yang penting, tak
hanya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat tapi juga pada
pembentukan PDRB.
2. Industri-industri ikatan.
Ini berarti perkembangan industri-industri tersebut akak menigkatkan
total NT daerah, atau mengurangi ‘kebocoran ekonomi’ dan ketergantungan
impor.
3. Daya saing di masa depan.
Hal ini sangat menentukan prospek dari pengembangan industri yang
bersangkutan, agar ke depannya pasar memiliki kekuatan untuk bersaing.
Meningkatkan daya saing adalah dengan meningkatkan persaingan itu
sendiri. Ini berarti perlakuan-perlakukan khusus harus ditinggalkan.
Proteksi perlu ditiadakan segera ataupun bertahap. Pengembangan produk
yang sukses adalah yang berorientasi pasar, ini berarti pemerintah
daerah perlu mendorong pengusaha untuk selalu meningkatkan efisiensi
teknis dan ekonomis. Peraturan perdagangan internasional harus
diperkenalkan dan diterapkan. Perlu ada upaya perencanaan agar setiap
pejabat pemerinah daerah mengerti peraturan-peraturan perdagangan
internasional ini, untuk dapat mendorong pengusaha-pengusaha daerah
menjadi pemain-pemain yang tangguh dalam perdagangan bebas, baik pada
lingkup daerah, nasional maupun internasional.
4. Spesialisasi industri.
Suatu daerah sebaiknya berspesialisasi di mana daerah tersebut unggul
(teori klasik perdagangan internasional), dan dengan demikian daerah
tersebut akan menikmati keuntungan dari perdagangan.
KESIMPULAN
- Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana
pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan
selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah
daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja
baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan
ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).
- Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, yaitu proses
yang mencakup pembentukan-pembentukan institusi baru, pembangunan
industri-industri alternatif, perbaikam kapasitas tenaga kerja yang
ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik,
identifikasi pasar-pasar baru, dan pengembangan
perusahaan-perusahan baru.
- Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama
untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat
daerah. Untuk mencapai tujuan tesebut, pemerintah daerah dan
masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif
pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta
daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan dengan
menggunakan sumberdaya yang ada harus memperkirakan potensi sumberdaya
yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.
(Lincolin Arsyad, 1999).
- Teori basis ekonomi berdasarkan pada ekspor barang (komoditas).
Sasaran pengembangan teori ini adalah peningkatan laju
pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan.
- Teori lokasi adalah suatu teori yang dikembangkan untuk
memperhitungkan pola lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi termasuk di
dalamnya kegiatan industri dengan cara yang konsisten.
- Teori daya tarik industri adalah model pembangunan ekonomi yang
paling banyak digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang
mendasarinya adalah suatu masyarakat dapat memperbaiki posisi
pasarnya terhadap industri lewat pemberian subsidi dan insentif.
DAFTAR PUSTAKA
Sukirno, Sadono. 2006.
Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT Raja GrafIndustrido Persada.
Tambunan, Tulus. 2003.
Perekonomian Industridonesia Beberapa Masalah PentIndustrig. Jakarta: Ghalia Industridonesia.
http://www.google.com
http://www.wikipedia.com